Goethe-Institut Indonesia dan Museum MACAN mempersembahkan diskusi panel virtual, BINGKIS - Tertempa dan Lahir: Manifesto Seni di Indonesia. Menjelajahi lebih dalam pemahaman kontekstual tentang manifesto di Indonesia, diskusi ini akan menyoroti cara seni dan perjuangan menuju kebebasan di Indonesia tumbuh menjadi beberapa manifesto.
Manifesto mendesak, menggeser, mengubah dan menantang norma-norma yang berlaku dan status quo masyarakat, seni dan pemerintah Indonesia dari tahun 1960-an hingga sekarang.
Merespons kondisi pandemi yang memosisikan seni di Indonesia dalam tekanan yang sangat berbeda dari sebelumnya, diskusi ini akan menggali pengalaman dari sejarah munculnya manifesto seni dan budaya di Indonesia, serta mencari tahu atas kemungkinan lahirnya manifesto seni yang baru dari kondisi ini.
BINGKIS (Bincang Kamis) adalah program diskusi daring komunikatif dan edukatif yang secara rutin diadakan oleh Goethe-Institut Indonesia.
Goenawan Mohamad
Pada 1963, Goenawan bersama sejumlah seniman Indonesia lain seperti Rendra, HB Jassin, Sapardi Djoko Damono, ikut menandatangani Manifes Kebudayaan - petisi yang menolak diberlakukannya prinsip “politik sebagai panglima” dan “realisme sosialis”. Pemerintahan Demokrasi Terpimpin melarang manifesto ini yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum, meninggalkan Indonesia dan melanjutkan pendidikannya di Belgia. Setelah pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan Soekarno jatuh, Goenawan bisa kembali menulis tanpa nama samaran.
Pada 1971, ia mendirikan dan memimpin majalah mingguan Tempo yang ditutup pemerintah Orde Baru pada 1994, karena dianggap sebagai oposisi yang merugikan pemerintah. Selama Tempo tidak bisa terbit, Goenawan ikut menerbitkan berkala “Independen” di bawah tanah. Setelah era reformasi, ia kembali memimpin Tempo selama dua tahun dan setelahnya mendirikan Komunitas Salihara – pusat kesenian multi disiplin swasta pada 2008. Goenawan telah menulis sejumlah buku puisi, lakon dan esai, juga sebuah novel. Kumpulan esainya, “Catatan Pinggir” telah terbit sebanyak 13 jilid.
Siti Adiyati
Siti Adiyati adalah salah satu dari sedikit mahasiswi yang terlibat dalam peristiwa Desember Hitam 1974 yang dipicu sistem penilaian karya seni pada hasil akhir Pameran Besar Seni Lukis Indonesia, dan menerima sanksi akademik dari Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia/STSRI ASRI. Pada 1975, bersama dengan lulusan STSRI ASRI lainnya dan mahasiswa/i Institut Teknologi Bandung, ia mengadakan pameran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dan menamakan pergerakan tersebut sebagai Gerakan Seni Rupa Baru, yang muncul dari keinginan untuk bereksperimen dengan lebih bebas tanpa ikatan baku. Kedua peristiwa tersebut kemudian berpengaruh besar dalam lahirnya seni rupa kontemporer Indonesia. Pada 1993, ia mendapat penghargaan kehormatan dari Pemerintah Perancis, Legion d'Honore Chevalier des Arts et Lettres. Siti Adiyati sempat menjadi guru seni rupa pada 1976-1982, sebelum pindah ke Paris dan menerbitkan berbagai buku dan kompilasi esai seperti "Dari Kandinsky Sampai Wianta". Sampai sekarang, ia masih aktif mengadakan pameran tunggal dan grup di Indonesia, Eropa, dan Asia.
Taring Padi
Terbentuk pada 1998, Taring Padi dikenal dengan aktivisme yang mentah dan tanpa kompromi, serta produksi poster dengan pesan keadilan politik dan sosial, menggunakan teknik cukil kayu pada kertas atau kanvas. Selain karya grafis, mereka juga menciptakan mural, spanduk, wayang, trimatra, performans teater jalanan, serta musik punk rock dan techno. Karya Taring Padi dipamerkan dalam tata formal dan informal, termasuk Galeri Nasional dan 31st Century Museum Chiang Mai, Thailand. Taring Padi menerbitkan buku bertajuk ‘Seni Membongkar Tirani’ pada tahun 2011, meliputi 10 tahun karya dan artikel akademik kolektif. Pada tahun 2018, mereka merayakan peringatan 20 tahun dengan pameran retrospektif di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Taring Padi menyatakan eksistensi mereka melalui deklarasi pernyataan misi pada ‘Lima Iblis Budaya’ di Kantor Bantuan Hukum Yogyakarta pada 21 Desember 1998.
Moderator: Asep Topan
Asep Topan adalah Kurator Museum MACAN (Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara). Dia adalah alumni program pascasarjana Manajemen Seni dan Kuratorial di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan sarjana Seni Rupa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Asep pernah menjabat Wakil Direktur Jakarta Biennale (2016-18), dan telah terlibat dalam berbagai pameran, program publik dan proyek seni jangka panjang baik secara mandiri maupun kolektif, termasuk berpartisipasi dalam de Appel Curatorial Program, Amsterdam (2015-16). Dia juga seorang staf pengajar di IKJ, dengan fokus aktivisme seni.
Ikuti diskusi ini pada:
Kamis, 4 Juni 2020
17.00 – 18.30 WIB
Untuk info lebih lanjut mengenai diskusi ini, mohon mengontak education@museummacan.org atau kirim pesan WhatsApp ke nomor di bawah ini.
Hubungi kami